Industri fesyen adalah sektor ekonomi global raksasa senilai $2.4 triliun yang mempekerjakan 300 juta orang di seluruh dunia, namun seringkali luput dari perhatian publik terkait dampak lingkungannya yang sangat besar. Tersembunyi di balik tren dan koleksi baru, industri ini bertanggung jawab atas 2-8% emisi gas rumah kaca global, 20% air limbah dunia, kerugian $100 miliar karena kurangnya pemanfaatan dan daur ulang, serta 9% kehilangan mikroplastik tahunan ke laut. Angka-angka ini adalah bukti nyata bahwa “sustainable fashion” bukan sekadar tren sesaat, melainkan keharusan mendesak untuk masa depan planet kita. Oleh karena itu, artikel ini akan mengupas tuntas dampak tersembunyi industri fesyen, mengungkap praktik greenwashing yang menyesatkan, dan menyoroti bagaimana pergeseran menuju keberlanjutan, yang didukung oleh peran konsumen dan regulasi, menjadi satu-satunya jalan ke depan.
Sisi Gelap Industri Fesyen: Dampak Lingkungan yang Mengejutkan

Model ekonomi linier “ambil, buat, buang” telah menjadi tulang punggung industri fesyen selama ini. Budaya fast fashion mendorong konsumsi tekstil yang masif, dengan Amerika Utara mengonsumsi hingga 37 kg tekstil per orang per tahun, diikuti oleh Australia (27 kg/orang/tahun) dan Eropa Barat (22 kg/orang/tahun). Konsumsi berlebihan ini, dikombinasikan dengan proses produksi yang intensif, menciptakan jejak ekologis yang menghancurkan.
Selain emisi dan limbah air, industri ini juga menghadapi masalah seperti penggunaan lahan yang luas, emisi gas rumah kaca, dan degradasi tanah akibat penanaman serat alami seperti kapas yang tidak berkelanjutan. Belum lagi ribuan bahan kimia—termasuk pewarna, pigmen, dan zat tambahan—yang digunakan dalam produksi tekstil, banyak di antaranya menimbulkan masalah pembuangan dan dampak buruk bagi kesehatan manusia serta lingkungan.
Melihat skala masalah ini, jelas bahwa industri fesyen wajib mengadopsi model bisnis yang lebih berkelanjutan dan bergerak menuju ekonomi sirkular, di mana sumber daya digunakan dengan cara yang lebih lestari.
Ancaman “Greenwashing”: Ketika Keberlanjutan Hanya Sekadar Pemasaran
Dalam menanggapi tekanan untuk menjadi lebih berkelanjutan, beberapa merek fesyen justru beralih ke praktik “greenwashing”. Greenwashing didefinisikan sebagai praktik mempromosikan upaya lingkungan sebuah organisasi secara salah, atau menghabiskan lebih banyak sumber daya untuk mempromosikan diri sebagai “hijau” daripada yang sebenarnya dihabiskan untuk praktik ramah lingkungan. Ini adalah upaya untuk terlihat lebih berkelanjutan daripada kenyataannya, seringkali dengan menyoroti satu praktik baik sambil menyembunyikan dampak negatif lainnya. Contoh greenwashing yang sering terlihat dalam fesyen meliputi:
- Klaim keberlanjutan yang hanya meningkatkan sebagian kecil koleksi merek.
- “Downcycling” bahan (mengurangi kualitas bahan) alih-alih daur ulang fiber-to-fiber.
- Promosi program ambil-kembali yang justru mendorong konsumsi tanpa rasa bersalah.
- Klaim keberlanjutan serat sintetis atau promosi PET daur ulang dalam bahan tekstil baru, padahal serat ini masih memiliki masalah lingkungan.
- Penggunaan label eko atau sertifikasi yang tidak jelas, tidak transparan, atau tidak dapat diandalkan, yang menyesatkan konsumen dan menciptakan kesan kualitas atau nilai yang lebih tinggi.
Sebuah laporan dari Changing Markets Foundation bahkan mengungkapkan bahwa banyak skema sertifikasi utama dalam sektor fesyen seringkali bertindak sebagai “umpan keberlanjutan”, memungkinkan greenwashing secara massal karena kurangnya transparansi, akuntabilitas, dan independensi yang terkompromi. Merek-merek top dapat memberikan klaim palsu dengan tingkat setinggi 96%. Penggunaan istilah ambigu seperti “eko”, “organik”, “bebas bahan kimia”, dan “berkelanjutan” juga menciptakan kebingungan dan jurang antara harapan konsumen dan informasi yang dibagikan perusahaan. Ini sering disebut sebagai “double-talk” atau kemunafikan korporat.
Bentuk greenwashing dalam sustainable fashion yang lebih ekstrem adalah “bluewashing”, yang meniru bendera PBB untuk mengalihkan perhatian konsumen dari catatan lingkungan mereka yang buruk, bahkan cenderung melebih-lebihkan tanggung jawab sosial yang sebenarnya diterapkan.
Membangun Fondasi “Sustainable Fashion” yang Sejati: Peran Konsumen dan Regulator
Meskipun kesadaran akan lingkungan penting, keputusan pembelian konsumen seringkali masih didominasi oleh faktor seperti harga, nilai, ukuran, kualitas, gaya, kenyamanan, dan bahan. Konsumen juga cenderung kurang antusias terhadap pakaian bekas karena kekhawatiran akan kualitas atau sanitasi. Oleh karena itu, pengembangan sensitivitas terhadap pakaian yang lebih berkelanjutan di masyarakat sangat diperlukan. Ini bisa dicapai dengan menggeser proses pengambilan keputusan konsumen dari model emosional ke model kognitif, di mana keputusan dibuat secara rasional berdasarkan kebutuhan dan evaluasi kritis terhadap manfaat dan kerugian produk. Generasi post-millennial, dengan potensi pembelian yang terus berkembang dan kesadaran lingkungan yang lebih tinggi, menjadi target penting untuk kampanye kesadaran ini.
Untuk melawan greenwashing dan mendorong praktik yang jujur, peraturan legislatif memegang peranan krusial:
- Strategi UE untuk Tekstil Berkelanjutan dan Sirkular (2022) bertujuan untuk mengatasi masalah industri tekstil secara komprehensif, mencakup desain untuk keberlanjutan, jenis bahan yang digunakan, keterlacakan (misalnya melalui Digital Product Passport/DPP), dan skema pengelolaan limbah.
- Regulasi REACH (Registration, Evaluation, Authorisation and Restriction of Chemicals) di Uni Eropa memperkenalkan batasan dan prosedur untuk memantau serta mengurangi penggunaan zat berbahaya, melindungi konsumen, pekerja, dan lingkungan. REACH mewajibkan produsen untuk mendaftarkan dan menilai zat berbahaya, serta mendorong penelitian untuk alternatif yang lebih aman. Warga UE juga memiliki akses penuh ke informasi tentang bahan kimia yang mereka hadapi.
- Selain itu, inisiatif seperti Green Deal dari Komisi Eropa, Green Guides di AS, dan Green Claims Code di Inggris Raya juga bertujuan meminimalkan keuntungan perusahaan yang melakukan greenwashing.
Namun, meskipun ada regulasi, perusahaan besar seringkali masih menemukan cara untuk menghindari hukum melalui berbagai “dosa greenwashing” seperti “Sin of No Proof” (klaim tanpa bukti), “Sin of Vagueness” (klaim samar), “Sin of Worshiping False Labels” (label palsu), “Sin of Irrelevance” (klaim tidak relevan), dan “Sin of Lesser of Two Evils” (mengalihkan perhatian dari masalah besar dengan alternatif yang sedikit kurang berbahaya). Ini menunjukkan bahwa membangun kesadaran konsumen yang kuat sangat penting untuk mengubah pendekatan industri tekstil dan fesyen terhadap masalah keberlanjutan.
UNIQLO dan Komitmennya: Bukti Nyata Arah “Sustainable Fashion”
Di tengah tantangan ini, ada harapan dari merek-merek yang berkomitmen. UNIQLO, perusahaan ritel pakaian asal Jepang, berpegang pada filosofi “The Power of Clothing” dan “LifeWear”. Mereka percaya bahwa pakaian dapat menjadi kekuatan untuk kebaikan, menciptakan pakaian sederhana, berkualitas tinggi, dan tahan lama yang memperkaya kehidupan tanpa membebani lingkungan, serta diproduksi dengan cara yang selaras dengan alam dan menghormati hak asasi manusia.

UNIQLO secara aktif menerapkan inisiatif keberlanjutan melalui tiga pilar utamanya: people, planet, dan society.
- Pada pilar planet, UNIQLO berupaya memberikan dampak baik bagi lingkungan dengan berbagai inisiatif, termasuk:
- RE.UNIQLO STUDIO: Layanan unggulan ini memungkinkan perbaikan, perubahan, penggunaan kembali, dan penambahan custom remake (seperti embroidery atau teknik Sashiko tradisional Jepang) pada koleksi LifeWear untuk memperpanjang usia pakai pakaian. Ini adalah komitmen nyata UNIQLO dalam mengurangi limbah pakaian dan mendukung ekonomi sirkular.
- Pengembangan pakaian dari bahan daur ulang.
- Terlibat dalam proyek konservasi laut dan hutan.
- UNIQLO juga aktif mengedukasi masyarakat melalui kegiatan seperti Sustainability Day, yang menghadirkan workshop upcycle (Sashiko, Scrap Fabric Painting, Marble Fabric Painting) untuk mengajarkan cara memperpanjang usia pakaian dan memanfaatkan material sisa.
- Dalam sebuah langkah signifikan, UNIQLO menguji coba toko barang bekas pertamanya di Tokyo pada Oktober 2023, menjual pakaian daur ulang dengan sepertiga harga aslinya. Langkah ini mencerminkan pergeseran sikap di Jepang, di mana pasar pakaian bekas awalnya kurang berkembang karena kekhawatiran kebersihan. Namun, kenaikan harga konsumen dan pertumbuhan penjualan online barang bekas menunjukkan peningkatan penerimaan.
Sudah jelas bahwa “sustainable fashion”..
.. bukan lagi sekadar tren musiman atau pilihan gaya hidup, melainkan fondasi esensial untuk kelangsungan industri dan kelestarian lingkungan. Dampak tersembunyi industri fesyen terlalu besar untuk diabaikan, dan praktik greenwashing hanya akan memperparah krisis kepercayaan.
Perjalanan menuju industri fesyen yang jujur dan hijau memerlukan upaya kolektif:
- Kebutuhan untuk berubah yang didorong oleh kesadaran konsumen akan dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi.
- Alat untuk berubah melalui pengembangan metode daur ulang yang inovatif, terjangkau, dan berkelanjutan.
- Eksekusi perubahan dengan melindungi usaha kecil yang jujur dan menerapkan skema sertifikasi yang jelas, transparan, dan dapat diandalkan untuk mencegah strategi pemasaran yang menyesatkan.
Merek seperti UNIQLO, dengan inisiatif yang berfokus pada perpanjangan usia pakai pakaian dan edukasi konsumen, menunjukkan bahwa perubahan positif sangat mungkin terjadi. Dengan kesadaran konsumen yang meningkat dan regulasi yang ketat, kita dapat mendorong industri fesyen menuju masa depan yang lebih bertanggung jawab dan harmonis dengan planet kita.
Baca juga: Uniqlo X Jujutsu Kaisen Langsung Sold Out! Kenali Manga Populer Yang Sempat Menghebohkan Dunia Anime
Leave a Reply